"Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang
perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh
hukum Taurat dan kitab para nabi.
Matius 7:12
(TB)
Karena firman: jangan berzinah, jangan membunuh, jangan
mencuri, jangan mengingini dan firman lain mana pun juga, sudah tersimpul dalam
firman ini, yaitu: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!
Kasih
tidak berbuat jahat terhadap sesama manusia, karena
itu kasih adalah kegenapan hukum Taurat.
Roma 13:9-10 (TB)
Pendahuluan
Ada sebuah pertanyaan berat bagi Plato, Socrates,
dan Aristoteles, mengenai: bagaimana menciptakan persatuan di dalam
keberagaman/perbedaan – “unity in diversity” ?. Pikiran mereka bekerja dengan
keras untuk mewujudkannya, bahkan terciptanya ide “uni-versity” adalah juga
dari pemikiran mereka. Akan tetapi mereka tetap belum dapat merumuskan bentuk
dari rumus pasti guna menciptakan persatuan di dalam keberagaman/perbedaan.
Sebagai bangsa Indonesia kita harus bersyukur
kepada TUHAN Yang Maha Esa, karena memberikan hikmat kepada para pendiri Negara
kita tercinta ini, yang menetapkan sebuah falsafah yang menjadi semboyan bagi
INDONESIA, yaitu: Bhineka Tunggal Ika, yang di ambil dari sebuah syair kuno “Kakawin
[sajak] Sutasoma, karya Mpu. Tantular, yang jika diterjemahkan per patah kata,
kata bhinneka berarti "beraneka
ragam" atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti
"macam" dan menjadi
pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti
"satu". Kata ika berarti
"itu". Secara harfiah
Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka
Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya,
bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Kakawin tersebut adalah sangat istimewa dikarenakan
mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini
berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:[1]
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Terjemahan[2]:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan
dalam kebenaran.
KASIH YANG BERTINDAK
Didalam pelaksanaan Taurat, dibuatlah penjabaran
sebanyak 613 MITSVOT ( terdiri atas 248 מצות עשה - "MITSVOT 'ASEH" (perintah) dan 365 מצות לא תעשה- "MITSVOT LO TA'ASEH" (larangan). Angka
248 merupakan jumlah tulang dalam tubuh manusia, dan 365 adalah jumlah hari
dalam satu tahun)[3].
Esensi dari 613 mistvot tersebut adalah mengatur bagaimana cara berhubungan
dengan TUHAN serta hubungan manusia dengan sesamanya dalam konteks "human
sacredness". Ke 613 mitsvot tersebut oleh penganut Judeo-Christian diajarkan terangkum dalam satu frasa indah
"KASIH", - Ke 248 perintah yang menggambar 248 tulang manusia,
diharapkan mengingatkan kita bahwa kehidupan manusia itu tidak dapat lepas dari
topangan akan ketaatanterhadap pelaksanaan perintah-perintah dalam hukum-hukum
TUHAN, sedangkan 365 larangan, diharapkan, manusia mengingat untuk selalu
waspada dan menjauhi dosa, melalui ketaatan terhadap larangan tersebut dalam
keseharian mereka.
Di dalam Matius 7:12, kata hukum Taurat menggunakan kata “nomos” sedangkan kata kitab para nabi menggunakan kata
“prophetes”[4],
dan jika kita membandingkannya dengan Roma 13:9-10 serta mencermatinya dengan
baik-baik maka kita dapat menemukan penjelasan yang lebih baik lagi tentang hubungan
ketiga ayat tersebut dalam konteks membangun perdamaian dunia kita ini. Ketiga
ayat tersebut menyatakan bahwa keseluruhan hukum yang ada di dalam Kitab Suci
atau Alkitab dapatlah disejajarkan dengan praktek “Kasihilah sesamamu
manusia seperti dirimu sendiri” - agapao [v] plesion sou hos seautou [reflesi
dari dirimu] yang transliterasinya dapat kita parafrasakan sebagai
berikut: sebuah tindakan kasih yang nyata kepada sesama kita yang kita akui
sebagai refleksi dari kita sendiri sebagai sesama “being” manusia. Sehingga
ita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa keberagaman adalah bukan sebuah
alasan yang dapat menghentikan kita untuk saling mengasihi dan berbagi realitas
akan kemanusiaan kita, - bukan
sebaliknya sebagaimana "konsep Hitler", yang merendahkan sesama
manusia karena berdasarkan perbedaan “ras” yang sebenarnya tidak pernah dapat
dijadikan alas an untuk membangun sebuah konflik bahkan saling membinasakan
satu dengan yang lainnya !.
Pada bagian lain di dalam Perjanjian Baru
dijabarkan mengenai karakteristik “kasih”, yang pada realitasnya harus
dipraktekan kepada sesama dan dengan semangat “saling”
13:4 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak
memegahkan diri dan tidak sombong.
13:5 Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan
diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
13:6 Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
13:7 Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan
segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
13:8 Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan
berhenti; pengetahuan akan lenyap..
1 Korintus 13:4-8
Parafrasa: Sudahkan kita saling sabar
satu dengan yang lain - Sudahkah kita saling murah hati satu dengan yang lain -
Sudahkah kita saling tidak cemburu satu dengan yang lain - Sudahkan kita saling
menghargai satu dengan yang lain - Sudahkah kita saling rendah hati satu dengan
yang lain - Sudahkah kita saling bersikap sopan satu dengan yang lain - Sudahkah
kita tidak saling bersikap egois satu dengan yang lain - Sudahkah kita saling
ramah, memaafkan dan melepaskan kepahitan hati satu dengan yang lain - Sudahkah
kita saling mendukung dalam penegakan keadilan satu dengan yang lain - Sudahkah
kita saling mendukung dalam keberpihakan kita kepada kebenaran dimana iya
adalah iya dan tidak adalah tidak [saling dalam kepastian hukum yang adil] - Sebab
kasih itu adalah praktek “saling”, yang merupak wujud nyata bahwa kita adalah
orang-orang yang memahami kemanusiaan dan meyakini adanya TUHAN sang pemberi
kasih dalam kehidupan manusia.
Penutup
Ketika Ibu Teresa menerima hadiah nobel, beliau
ditanya "apa yang dapat kita lakukan untuk mendorong perdamaian
dunia?" Jawabnya, "Pulanglah dan kasihi keluargamu." Dengan kata
lain beliau menyatakan bahwa: “mulailah dari perkara yang kecil untuk membangun
dunia ini menjadi damai”, bahkan Budha pernah mengatakan: Hatred does not cease by hatred,
but only by love; this is the eternal rule. (Kebencian tidak berhenti
oleh kebencian, tetapi hanya dengan kasih, ini adalah aturan yang kekal). Tidak
ada hukum di dunia ini yang sanggup menentang hukum “KASIH” yang memiliki
kekuatan untuk menciptakan perdamaian, tetapi banyak sekali orang yang mengaku
dirinya “para pemilik kasih yang intelektual” tetapi pada kenyataannya mereka tidak
memiliki “Kasih”, bahkan cenderung menjadi bodoh dengan menghakimi satu dengan
yang lainnya karena sebuah istilah “perbedaan”.
Salam Perdamaian – TUHAN memberkati anda semua
Oleh: Sonny Cornelly S. MTh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar